Just Another Little Things You Don't Know About Me

Minggu, 13 November 2016

One Step Closer


Yogyakarta, suatu kota budaya yang terletak di tengah Pulau Jawa. Kota yang sama sekali belum pernah terbayangkan bahwa pada akhirnya aku akan tinggal dan belajar di sana. Awalnya, aku bercita-cita untuk menuntut ilmu di barat Jawa sana, di tengah hiruk pikuk kota yang sebutannya Kota Belimbing Dewa, katanya.
Berawal dari kekagumanku terhadap salah satu kakak kelas di SMA, begitu banyak pencapaian yang telah beliau dapatkan selama menempuh pendidikan, baik prestasi akademik maupun non-akademik. Ditambah lagi beliau melanjutkan studinya di lembaga-pendidikan-kedokteran nomor wahid di Indonesia, melalui jalur undangan pula. Siapa yang tidak terdorong motivasinya untuk ikut menyusul ke kampus-kuning sana?
Ya, sepanjang perjalanan akhirku di SMA, aku selalu beranggapan bahwa aku bisa menyusulnya di kampus yang sama. Siang-malam aku belajar, tak kenal lelah demi mendapatkan satu kursi yang diperebutkan ribuan orang di luar sana. Mengunjungi kampusnya, mengikuti kegiatan Open House, selalu memperbarui kabar terbaru tentang fakultasnya, bahkan sampai membeli banyak souvenir-nya sebagai motivasi agar aku bisa lebih rajin lagi belajar.
Sampai pada akhirnya, dengan mengambil segala risiko yang ada, aku tuliskan mimpiku itu di laman resmi SNMPTN 2016. Walau aku tahu nilai raportku tak sebagus dan sesempurna kakak kelas -yang kukagumi- itu, prestasiku juga hanya secuil jika dibandingkan dengan kepunyaan-nya. Aku nekat. Aku berpikir, "Gak apa-apa lah, setidaknya aku mencoba. Kalau pun gagal, aku masih bisa coba di SBMPTN."
Singkat cerita, aku tak lolos SNMPTN 2016. Ya iya lah, nilai raport segitu pengen masuk "ke sana", cari mati atau gimana? gumamku dalam hati. Aku sudah menduga sebelumnya, sih. Aku juga sudah mempersiapkan mental baja untuk menghadapinya. Kecewa pasti ada, tapi aku belum mau menyerah. Masih ada SBMPTN! teriakku dalam hati.
Aku menjadi lebih semangat kala itu. Aku pergi ke tempat bimbel dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, bahkan tak jarang aku pulang larut malam demi memperjuangkan mimpiku itu, menjadi seorang mahasiswi kedokteran di kampus-yang-ada-nama-negara-kita nya itu.
Dua minggu jelang SBMPTN, nilai tryout-ku tak kunjung naik. Hanya stuck di kisaran 40-50% saja, masih jauh dengan targetku untuk bisa mencapai angka 65%. Akhirnya, dengan berat hati, aku memutuskan untuk putar arah. Beragam pertimbangan aku lakukan demi mendapatkan program studi pilihan, bukan asal-asalan. Akhirnya, di SBMPTN aku memilih Farmasi-Ganesha sebagai pilihan pertama, Farmasi-Gadjah Mada sebagai pilihan kedua, dan Teknologi Pangan-Tembalang sebagai pilihan ketiga. Tak ada pendidikan dokter sama sekali.
Atas saran sahabat-sahabatku, aku akhirnya mengikuti Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada dengan program studi Farmasi di pilihan pertama, Kimia di pilihan kedua, dan Gizi Kesehatan di pilihan ketiga. Lagi-lagi, tak ada pendidikan dokter di pilihanku. Aku hampir menyerah untuk merebut kursi menjadi mahasiswa kedokteran saat itu.
28 Juni, pengumuman SBMPTN pun tiba. Rekan seangkatanku mulai ramai berkabar di grup media sosial. Berbagai universitas dan program studi idaman telah berhasil mereka dapatkan, walau sebagian ada yang harus menimba air mata karena belum diberi kesempatan yang sama. Dengan antusias, aku pun membuka laman resmi SBMPTN untuk mengetahui bagaimana kelanjutan kisahku sebagai calon mahasiswa baru. Aku berharap Tuhan meloloskanku di program studi pilihan pertama, orang tuaku juga demikian.
Namun, lagi-lagi terjadi. Aku gagal merebut pilihan pertama dan kedua. Pilihan ketiga-lah yang muncul di halaman pengumuman. Entah aku harus bahagia atau malah kecewa. Bahagia? Tapi itu bukan sepenuhnya pilihanku. Kecewa? Tak tahu diri sekali, kamu ini! Harusnya kamu bersyukur, di luar sana banyak yang menangis meronta-ronta karena gagal SBMPTN. Dan kamu masih mengharapkan yang lebih? Dasar manusia, tak pernah puas dengan apa yang Tuhan beri! Ah rasanya seperti ada dua jiwa di hidupku yang berdebat tak menentu. Aku masih penasaran dengan pengumuman UM-UGM ku. Hasilnya seperti apa, ya?
Rasa kaget tak percaya melingkupi ruang keluarga di sebuah rumah di daerah Jawa Barat pada malam itu. Malam setelah pulang shalat tarawih dalam balutan indahnya bulan Ramadhan memang selalu menjadi waktu yang tepat untuk berkumpul keluarga. Tak terkecuali pada tanggal 1 Juli 2016 –dimana sebuah pengumuman yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba-- yang menjadi titik awal kehidupan baruku sebagai mahasiswa, mahasiswa baru lebih tepatnya.
Aku diterima menjadi calon mahasiswa baru Fakultas Farmasi UGM, akhirnya. Aku memutuskan untuk memilih ini dan mencoba melupakan mimpi awalku yang masih berkutat seputar dunia kedokteran dan universitas-berjaket-kuningPuji syukur tak hentinya aku lantunkan ketika aku bisa menjadi gadjah mada muda tahun ini. Menyisihkan kiranya ratusan bahkan ribuan pesaing yang menginginkan satu kursi yang aku duduki sekarang.
Aku resmi menjadi mahasiswa Universitas Gadjah Mada 2016 setelah melalui serangkaian proses registrasi yang cukup menyita waktu dan tenaga. Tepatnya 30 Juli 2016, aku dan 8000-an mahasiswa baru UGM lainnya diundang untuk mengikuti rangkaian acara Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) 2016.
Seperti apa ceritanya? I’ll be back, soon.