Yogyakarta,
suatu kota budaya yang terletak di tengah Pulau Jawa. Kota yang sama sekali
belum pernah terbayangkan bahwa pada akhirnya aku akan tinggal dan belajar di
sana. Awalnya, aku bercita-cita untuk menuntut ilmu di barat Jawa sana, di
tengah hiruk pikuk kota yang sebutannya Kota Belimbing Dewa, katanya.
Berawal dari
kekagumanku terhadap salah satu kakak kelas di SMA, begitu banyak pencapaian
yang telah beliau dapatkan selama menempuh pendidikan, baik prestasi akademik
maupun non-akademik. Ditambah lagi beliau melanjutkan studinya di lembaga-pendidikan-kedokteran nomor
wahid di Indonesia, melalui jalur undangan pula. Siapa yang tidak terdorong
motivasinya untuk ikut menyusul ke kampus-kuning
sana?
Ya, sepanjang
perjalanan akhirku di SMA, aku selalu beranggapan bahwa aku bisa menyusulnya di
kampus yang sama. Siang-malam aku belajar, tak kenal lelah demi mendapatkan
satu kursi yang diperebutkan ribuan orang di luar sana. Mengunjungi kampusnya,
mengikuti kegiatan Open
House, selalu memperbarui kabar terbaru tentang fakultasnya, bahkan
sampai membeli banyak souvenir-nya
sebagai motivasi agar aku bisa lebih rajin lagi belajar.
Sampai pada
akhirnya, dengan mengambil segala risiko yang ada, aku tuliskan mimpiku itu di
laman resmi SNMPTN 2016. Walau aku tahu nilai raportku tak sebagus dan
sesempurna kakak kelas -yang kukagumi- itu, prestasiku juga hanya secuil jika
dibandingkan dengan kepunyaan-nya. Aku nekat. Aku berpikir, "Gak apa-apa lah, setidaknya aku mencoba.
Kalau pun gagal, aku masih bisa coba di SBMPTN."
Singkat cerita,
aku tak lolos SNMPTN 2016. Ya
iya lah, nilai raport segitu pengen masuk "ke sana", cari mati atau
gimana? gumamku dalam hati. Aku sudah menduga
sebelumnya, sih. Aku juga sudah mempersiapkan mental
baja untuk menghadapinya. Kecewa pasti ada, tapi aku belum mau menyerah. Masih
ada SBMPTN! teriakku dalam hati.
Aku menjadi
lebih semangat kala itu. Aku pergi ke tempat bimbel dari jam 8 pagi sampai jam
5 sore, bahkan tak jarang aku pulang larut malam demi memperjuangkan mimpiku
itu, menjadi seorang mahasiswi kedokteran di kampus-yang-ada-nama-negara-kita nya itu.
Dua minggu jelang
SBMPTN, nilai tryout-ku
tak kunjung naik. Hanya stuck di kisaran 40-50% saja, masih jauh
dengan targetku untuk bisa mencapai angka 65%. Akhirnya, dengan berat hati, aku
memutuskan untuk putar arah. Beragam pertimbangan aku lakukan demi mendapatkan
program studi pilihan, bukan asal-asalan. Akhirnya, di SBMPTN aku memilih
Farmasi-Ganesha sebagai pilihan
pertama, Farmasi-Gadjah Mada sebagai
pilihan kedua, dan Teknologi Pangan-Tembalang
sebagai pilihan ketiga. Tak ada pendidikan
dokter sama sekali.
Atas saran
sahabat-sahabatku, aku akhirnya mengikuti Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada
dengan program studi Farmasi di pilihan pertama, Kimia di pilihan kedua, dan
Gizi Kesehatan di pilihan ketiga. Lagi-lagi, tak ada pendidikan dokter di
pilihanku. Aku hampir menyerah
untuk merebut kursi menjadi mahasiswa kedokteran
saat itu.
28 Juni,
pengumuman SBMPTN pun tiba. Rekan seangkatanku mulai ramai berkabar di grup
media sosial. Berbagai universitas dan program studi idaman telah berhasil
mereka dapatkan, walau sebagian ada yang harus menimba air mata karena belum
diberi kesempatan yang sama. Dengan antusias, aku pun membuka laman resmi SBMPTN
untuk mengetahui bagaimana kelanjutan kisahku sebagai calon mahasiswa baru. Aku
berharap Tuhan meloloskanku di program studi pilihan pertama, orang tuaku juga
demikian.
Namun, lagi-lagi
terjadi. Aku gagal merebut pilihan pertama dan kedua. Pilihan ketiga-lah yang
muncul di halaman pengumuman. Entah aku harus bahagia atau
malah kecewa. Bahagia? Tapi itu
bukan sepenuhnya pilihanku. Kecewa? Tak
tahu diri sekali, kamu ini! Harusnya kamu bersyukur, di luar sana banyak yang
menangis meronta-ronta karena gagal SBMPTN. Dan kamu masih mengharapkan yang
lebih? Dasar manusia, tak pernah puas dengan apa yang Tuhan beri! Ah
rasanya seperti ada dua jiwa di hidupku yang berdebat tak menentu. Aku masih
penasaran dengan pengumuman UM-UGM ku. Hasilnya seperti apa, ya?
Rasa kaget tak
percaya melingkupi ruang keluarga di sebuah rumah di daerah Jawa Barat pada
malam itu. Malam setelah pulang shalat tarawih dalam balutan indahnya bulan Ramadhan
memang selalu menjadi waktu yang tepat untuk berkumpul keluarga. Tak terkecuali
pada tanggal 1 Juli 2016 –dimana sebuah pengumuman yang ditunggu-tunggu
akhirnya tiba-- yang menjadi titik awal kehidupan baruku sebagai mahasiswa,
mahasiswa baru lebih tepatnya.
Aku diterima
menjadi calon mahasiswa baru Fakultas Farmasi UGM, akhirnya. Aku memutuskan
untuk memilih ini dan mencoba
melupakan mimpi awalku yang masih berkutat seputar dunia kedokteran dan universitas-berjaket-kuning. Puji syukur tak
hentinya aku lantunkan ketika aku bisa menjadi gadjah mada muda tahun ini.
Menyisihkan kiranya ratusan bahkan ribuan pesaing yang menginginkan satu kursi
yang aku duduki sekarang.
Aku resmi menjadi
mahasiswa Universitas Gadjah Mada 2016 setelah melalui serangkaian proses
registrasi yang cukup menyita waktu dan tenaga. Tepatnya 30 Juli 2016, aku dan
8000-an mahasiswa baru UGM lainnya diundang untuk mengikuti rangkaian acara
Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) 2016.
Seperti apa
ceritanya? I’ll be back, soon.